YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kampus, selain tempat belajar mahasiswa, juga merupakan miniatur Indonesia dengan bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan.
Perbedaan yang ada di lingkungan kampus bukan menjadi penghalang untuk menimba ilmu, namun justru menjadi warna yang indah dalam bingkai toleransi.
Dari lingkungan kampus inilah, tangan yang selama ini tidak saling "mengenal" justru saling bergandengan, membantu dan memberikan dukungan satu sama lain demi meraih masa depan yang gemilang.
Canda dan tawa dalam menjalani aktivitas di lingkungan kampus menjadikan ikatan pertemanan, persahabatan dan bahkan persaudaraan.
Situasi itulah yang dirasakan oleh Raras Ruming Melathi (20), seorang muslimah asal Magelang, Jawa Tengah, yang saat ini masih menjadi mahasiswa aktif Pendidikan Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
"Saya masuk angkatan 2014. Di sini (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), teman, dosen, sampai karyawan dari berbagai daerah dan agama, tetapi kita tidak melihat perbedaan itu," ucapnya saat ditemui Kompas.com, Rabu (21/22/2016).
Selama kuliah di universitas yang dimiliki yayasan Katolik ini, Raras tidak pernah mendapat perlakukan yang berbeda. Selama kuliah di USD, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Ia justru mendapat pelajaran cara memanusiakan manusia.
"Toleransinya menurut saya tinggi banget. Tidak ada mayoritas dan minoritas, tetapi intinya bagaimana memanusiakan manusia," ucapnya.
Raras menceritakan, misalnya, saat bulan puasa, teman-temanya yang nonmuslim selalu menghormati dengan tidak makan atau minum di depannya. Bahkan, beberapa temanya nonmuslim sampai ikut berpuasa.
"Mereka selalu bilang minta maaf kalau mau makan dan jauh-jauh, saya justru yang jadi tidak enak, orang saya tidak masalah. Teman-teman dekat saya juga ada yang ikut puasa," bebernya.
Saling mengingatkan
Pihak kampus, lanjutnya, juga memberikan waktu seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya. Misalnya, saat waktu salat zuhur, meski sedang kuliah, mahasiswa yang beragama Islam diperbolehkan meninggalkan kelas untuk menjalankan ibadahnya.
Bahkan, kalau hari Jumat, justru dosen sering mengingatkan para mahasiswa yang beragama Islam agar berangkat shalat jumat.
"Kalau waktu kuliah, mau shalat dosen mempersilakan. Justru dosen mengingatkan teman-teman di kelas agar berangkat shalat Jumat," tandasnya.
Pelajaran agama pun bersifat diskusi tanya jawab. Bagaimana mengenal agama- agama di Indonesia, bagaimana menjaga kebinekaan, dan saling menghormati.
"Yang mengisi gantian, dosen Muslim, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Bentuknya forum diskusi tanya jawab," kata Raras.
Diceritakanya, di lingkungan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, ia melihat seorang suster, romo, frater, pendeta duduk bersama mahasiswa berjilbab, bercanda, makan bersama di kantin atau berdiskusi sudah hal yang biasa.
Bahkan suster memboncengkan teman kelasnya yang berjilbab atau sebaliknya juga itu sudah biasa.
Pandangan serupa juga terlihat di Universitas Atmajaya Yogyakarta. Widi Jati Pangestu, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya angkatan 2015 menuturkan, perbedaan bukan menjadi penghalang untuk menjalin pertemanan maupun persaudaraan. Justru perbedaan itu harus dirayakan dan menjadi indah.
"Di sini (Universitas Atmajaya Yogyakarta) yang kuliah tidak hanya Katolik, tetapi banyak yang Muslim, Hindu, Budha dan Kristen. Dan, tidak ada masalah, justru saling bersaudara," ujarnya.
Widi menceritakan, di Universitas Atma Jaya Yogyakarta setiap fakultas menyediakan ruangan untuk menjalankan ibadah shalat. Bahkan di ruangan itu kampus menyediakan fasiltas perlengkapan shalat.
"Setiap Fakultas disediakan ruangan untuk shalat. Lengkap ada mukena, sajadah, serta sarung juga," bebernya.
Satu yang menarik dari sebuah dinamika toleransi dan persaudaraan yang ia rasakan salah satunya adalah ketika jam shalat zuhur atau hari Jumat, misalnya, mahasiswa yang nonmuslim sering mengantar mahasiswa muslim ke masjid. Bahkan sering kali mengingatkan agar jangan bolos shalat.
"Teman-teman yang nonmuslim itu mau mengantarkan kalau mau ke masjid, dibonceng naik motor atau sekadar menemani jalan kaki," urainya.
Mahasiswa Kristen di UIN
Sama halnya dengan Riston Batuara, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dia mengaku awalnya datang ke prodi dan menanyakan apakah bisa kuliah di UIN karena agamanya Kristen. Pihak Prodi menyambutnya secara terbuka.
"Saya langsung datang ke prodi, Pak saya orang Kristen apakah bisa kuliah di sini? Prodi sangat welcome dan akhirnya saya kuliah di UIN," tuturnya.
Selama kuliah di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Riston tidak pernah merasakan adanya diskriminasi. Teman -teman kuliah maupun pengajar terbuka dan saling menjalin komunikasi yang baik, sehingga ia menikmati dinamika kehidupan di kampus negeri Islam.
"Selama kuliah saya tidak merasakan hal-hal yang ganjil atau apa. Saya sangat menikmati dinamika yang ada," tegasnya.
Menurutnya, karena kuliah di studi agama dan resolusi konflik maka ketika membahas tentang Kekristenan misalnya, maka tidak sungkan-sungkan dosen di UIN memberikan kesempatan kepada mahasiswa Kristen untuk presentasi.
"Kuliah kita sangat terbuka, banyak diskusi dan tukar pendapat. Dosen tidak sungkan memberikan kesempatan kepada kita (mahasiswa Kristen) untuk presentasi," ucapnya.
Indahnya perbedaan
Sementara itu, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Zuly Qodir menyampaikan, di Pascasarjana UMY, tidak hanya sfs mahasiswa muslim saja tetapi juga nonmuslim. Selain itu, ada juga mahasiswa dari daerah Papua, NTT, bahkan dari luar negeri seperti Filipina dan Thailand.
"Mereka yang mahasiswa perempuan non-Islam ya dipersilakan tidak mengenakan jilbab," tandasnya.
Bagi mahasiswa nonmuslim, imbuhnya, tidak ada paksaan untuk mengikuti ibadah sesuai agama Islam. Mereka dipersilakan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing.
"Tidak ada paksaan untuk ikut acara yang berkaitan dengan keagamaan. Silakan menjalankan ibadat menurut agama yang mereka peluk," tandasnya.
Ia memandang, mahasiswa nonmuslim memilih menuntut ilmu di kampus Islam tentu atas dasar ingin mendapatkan apa yang tak bisa didapatnya di kampus lain. Begitu juga sebaliknya bagi mahasiswa muslim yang menuntut ilmu di kampus Katolik, Kristen, Hindu atau Budha.
"Itu menurut saya keunikan-keunikan yang ada di universitas. Harus diberikan kebebasan kepada setiap universitas, tidak boleh ditentang, karena itu otoritas kampus," tandasnya.
Zuly Qodir menjelaskan, kehidupan toleransi di lingkungan kampus-kampus di Yogyakarta ini justru bisa menjadi contoh untuk diterapkan di lingkungan masyarakat.
Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wijaya KusumaEditor: Farid Assifa
Source: Kompas.com
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.